Bapak Final Farewell..

Suara ketukan di pintu terdengar keras. Ada Badut yang berdiri dengan wajah tegang. “Bot…., Babeh….

Gita membangunkanku pagi itu dengan sedikit panik, “Bang, ada badut tuh di luar..

“Ngapain dia kesini?” tanyaku sambil menghampiri badut diluar rumah Gita.

“Kunaon dut (kenapa dut)?” tanyaku.
“Bot.. Babeh..”

Seketika tanpa pikir panjang aku langsung mengambil kunci motor, jaket dan barang barangku dan langsung pamit kepada Gita, neneknya dan kedua kakaknya.

Semalam sebelumnya aku dan pacarku Gita merayakan pergantian tahun baru 2007 dirumahnya. Di rumahnya ketika itu hanya ada nenek dan kedua kakaknya, karena ibu dan bapaknya sedang melaksanakan ibadah haji ketika itu.
Kenapa aku bisa tidur di rumah Gita ketika itu? Sedangkan Bapak di rumah Bibi sedang sakit. Tapi aku sudah meminta izin ke bapak untuk menghadiri acara tersebut.

“Beh, abdi ka rumah gita nyak babakaran.. tahun baruan sih.. tapi da teu aneh-aneh aya keluargana oge.. ngan babakaran, ucapku..” (pak, saya kerumah gita ya mau bakar bakaran, acara tahun baruan, gak aneh aneh kok, ada keluarganya juga)
Sok wae jang, sebenerna sok wae mun hayang kumpul-kumpul na mah, tapi teu kudu bari merayakan tahun baru lah.. da euweuh budaya na nu kitu di urang mah.. budaya kafir eta mah.. sok weh kaditu tapi niatna rek babakaran makan makan kumpul kumpul lain jang merayakan pergantian tahun..

Dengan ijinnya aku mantap pergi kerumah Gita untuk merayakan tahun baru. Padahal kondisi Bapak ketika itu sedang sakit-sakitnya. Bapa ku menderita diabetes dan komplikasi lainnya seputaran ginjal paru paru dan jantung juga. Bapak didiagnosa diabetes sejak aku kelas 4 SD seingatku.. Sejak aku SD bapak mulai rutin berobat dan melakukan diet ini itu demi menjaga gula darahnya.

Kesehatannya makin menurun sekitar tahun 2000an, dan beliau memutuskan untuk pensiun dini di tahun 2003 kalau tidak salah. Bapak sempat mencoba berbagai pengobatan, konvensional hingga alternatif. Dampak mengkonsumsi obat tahunan juga yang menyebabkan kerusakan pada ginjalnya. Hingga pada akhirnya bapak menyerah berobat. hanya mengkonsumsi obat-obat herbal yang beliau rasa perlu saja.

Bapak makin ngedrop di rumah, sedangkan orang rumah sibuk dengan aktifitasnya. Ketika itu ibulah yang mengambil alih untuk mendapatkan uang untuk kebutuhan di rumah. Bapak dan ibuku keduanya PNS di dinas pendidikan provinsi. Tapi setelah Bapak pensiun dini otomatis Ibu lebih banyak tersita waktunya di kantor dibandingkan sebelumnya.
Dan aku? aku fokus dengan hidupku. Kadang aku merasa itu hukuman bagi bapak.. Bapak dulu terlalu otoriter dan galak kepada kami. Ketika kini kondisinya melemah, aku merasa bisa berbuat seenaknya.

Aku mulai berpacaran, mulai terjun ke dunia musik punk, walaupun belum terjun total ke komunitasnya, tapi aku mulai menunjukan sisi rebeliusku ketika itu. salah satunya cara berpakaian, aku pakai jaket bertambalkan emblem-emblem dan paku-paku, mewarnai rambut dan berbagai gaya urakan punk lainnya.

Bapak ketika itu sudah melemah. Tidak segalak dahulu. Lebih tepatnya mungkin lebih bijak, bisa berkomunikasi denganku.. Menanyakan alasan  gaya berpakaian ku, music yang kudengarkan.
Suatu ketika aku pernah memperdengarkan salah satu band favourite ku kepada beliau. “Beh dangukeun ieu liriknya.. fuck the u.s.a.. fuck the u.s.a” Karena aku tahu kebencian bapak akan amerika. dan sebenarnya dia tidak membenarkan dan mengijinkanku untuk menjadi anak punk. Tapi entahlah dia tak lagi keras seperti sebelum saat dia sakit.
Itu salah satu dari banyak kenangan yang terlintas di pikiranku ketika sedang melaju di motor menuju rumah Bi Siti, tempat di mana Bapak dirawat.

Lokasi rumah Gita dengan rumah bi siti tidak begitu jauh. Ketika itu juga pagi hari jam 6 pagi jalanan masih sangat sepi

. 15 menit waktu yang kutempuh sampai rumah Bi Siti. aku langsung memarkirkan motorku diluar rumah. aku berlari ke tangga dan langsung menuju ke kamar tempat bapak biasa tidur. Di kamar sudah berkumpul semua keluarga.
Aku tak begitu fokus, tp aku menyadari bahwa beberapa keluarga bertanya “Dari mana wae si aa teh?”

Bapak ketika itu sedang duduk di ranjang nya ditemani ibu. kakaku ada di dalam kamar, aku lupa ada siapa saja di kamar dan koridor kamar bapak ketika itu. Jelas banyak keluarga karena ketika itu kami semua habis berkumpul Idul Adha dirumah Bi Siti.
aku langsung memeluk kaki nya sambil menangis “… keun jang.. keun… timana wae atuh ujang teh, di teleponan teu di angkat geuning..” ucapnya.

Aku hanya bisa menangis di pahanya sambil memeluk kakinya.. dan berkata, “Hampura beh hampura…”

Kondisi bapak ketika itu tidak seperti orang sekarat. Hanya seperti orang sedang sakit saja..
“Bapak ngan rek nitip pesen ka ujang, jadi jelema sing jujur. eta weh.. Rek sanajan teu kapake ge, omat jadi jelema sing jujur nyak jang.. teu menta loba bapak mah..” Mungkin itu yang kuingat tentang pesan terakhir bapak untukku.

Beliau mengelus-elus kepalaku. Lalu berkata kepada paman ku, “Yuk ah, ayeuna weh” (yuk ah sekarang saja)
Aku ingat sekali ketika bapak bilang itu. Sungguh rasanya aneh mendengar kalimat itu seolah-olah beliau meminta dieksekusi. Beliau meminta untuk memindahkan ranjangnya ke lantai bawah ruang tengah. Biar luas dan enak ,katanya.

Kami sempat pindah ke lantai bawah, Bapak masih bisa berjalan sendiri walau sambil dibantu ibuku. Di ruang bawah sudah ada beberapa tetangga dekat rumah yang datang sengaja ke rumah Bi Siti.
Bapak tiduran di ruang tengah. Minta dipandu bisikan dua kalimat syahadat di telinganya
emak pun ada di sana, (nenekku, ibu dari bapak ku).
Hampir semua adik bapak dari Garut pun datang semua ke rumah Bi Siti sambil mengucap syahadat, Bapak merasakan kesakitan.. seperti sesak nafasnya.. Kami semua memandu syahadatnya.
saling menguatkan satu sama lain. Bapak kesakitan, beliau teriak seperti orang mengigau beliau berkata “sok ayeuna weh, sok ayeuna weh Gusti”  (sekarang aja, sekarang aja tuhan). Lalu menghela napasnya..

Beliau melihat Pak Ata dan Pak Surip tetangga rumah kita dan berkata, “Kieu nu loba dosa mah hese.”
Beliau sempat juga berkata, sakit sekaratul maut teh..

Lalu bapak minta diangkat untuk duduk minta minum. Dan kami sempat membersihkannya dulu, karena beliau sempat buang hajat sambil meronta ronta kesakitan ketika mencoba untuk pergi.
Ya, yang kulihat adalah bapak seperti sedang mencoba untuk melepaskan jiwa dari raga nya
. Mencoba untuk mati..
Beliau meminta istirahat.. dan bilang, “Cape geuning nyak.. (lelah ternyata ya..)
Setelah di seka dan dibersihkan, lalu sempat minum beliau bilang “rek istirahat heula ah”
Beliau menghela napasnya.. Rilex sekali. Matanya tertutup.. Aku lihat dadanya masih bernapas.

Pamanku memandu dua kalimat syahadat.
Mulut bapak bergerak mengikuti pamanku
mungkin sekitar 15 menit kemudian tertidur.

Nadinya melemah

Napasnya mulai hilang

Tapi bapak hanya seperti tertidur

dan bapak meninggal sekitar jam 9 pagi, 1 januari 2007.

Setelah bapak meninggal, Teteh memutuskan untuk tinggal di rumah Bi Siti sementara. Teteh memilih tidur di kamar bekas almarhum bapak tidur selama dirawat di rumah Bi Siti. Aku dan ibu pulang kerumah. Ibu setiap setelah sholat magrib tak henti menangis.

Satu bulan awal setelah bapak meninggal itu hari yang sangat berat bagi ibu.. Aku sempat frustrasi lihat ibu kalau sudah magrib.. Ibu kadang merasa melihat sosok Bapak di beberapa pojok ruang rumah. Maka dari itu aku berinisiatif untuk mengganti beberapa lokasi perabot rumah
membuat suasana baru.

Kupindahkan dipan di mana bapak biasa tiduran di ruang tengah ke  gudang
. mengecat beberapa bagian rumah, membereskan beberapa barang peninggalan Bapak,
beberapa cincin batu akiknya kuberikan kepada pamanku. Pakaiannya  tentu ku bongkoar seluruh isi lemarinya bersama Ibu.

“Kita kosongin aja, kasi kasiin aja lah bu barang bekas Bapak, tanyain Teteh aja apa yang mau dia simpan, “ucapku pada Ibu.
Sambil mengemas beberapa dokumen dan baju baju Bapak, aku menemukan diary lama Bapak. Berbentuk  notebook. Sebuah buku yang  ukurannya kecil. Buku harian pada zamannya. Covernya kulit tapi sudah lapuk sekali.
Tulisannya sulit dibaca, Tapi ada beberapa tulisan yang masih terbaca. Beberapa diantarnya adalah, saat Bapak bercerita dikasih kado sebuah korek api (mungkin zippo) oleh Ibu ketika masih awal berkenalan. Bapak perokok berat.. Bapak sangat senang mendapat hadiah itu karena merasa Ibu sangat mengerti dirinya..

Ada juga tulisan tentang keraguannya terhadap Tuhan.. Padahal Bapak yang kutahu itu muslim yang taat. Ternyata.. Beliau sempat mempertanyakan tentang Tuhan.. keraguan imannya..
Di tulisan itu ia berkata semoga Allah membimbing keturunannya kelak agar diberikan kemudahan untuk mengenal Allah..

“Ah,.. Beh.. Coba babeh aya keneh ayeuna.. Aa sono pisan.. Abdi keur linglung yeuh, Beh..”

“semoga bapak dilapangkan kuburnya.. Dan semoga kelak kita dipertemukan di surganya Allah ya, Beh.

In Memoriam
Abdullah Nurdin Ali
12 Juli 1952 – 1 Januari 2007