Idealis yang berkembang

Dulu pernah ditanya oleh atasan kantor “dy apa life goals lo?”, atau pertanyaan direktur juga pernah “apa yang kamu lihat di diri kamu 5 tahun kedepan?” Saya gak tau dulu jawab apa. Palingan ngeles bilang ya mencoba lebih baik dari hari kemarin atau jawaban jawaban gk kualitas lainnya. Emang gak punya jawaban sih karena tujuan bekerja ya cuma dapet penghasilan tetap yang sekiranya cukup buat menopang hidup. Udah gitu aja sesimple itu. Ya intinya buat kemandirian finansial lah gak lebih. Gak ada tuh buat niat untuk aktualisasi diri atau ingin menjadi posisi itu dan ini di umur tertentu. Gak ada ambisi kesitu. Saya kira gak ada yang salah dengan tidak memiliki ambisi, kalau sekarang saya pikir kayaknya sih itu adalah kekeliruan.

Bahkan sedari kecil kayaknya saya gak pernan punya cita-cita deh. Lupa dulu kalau nulis di diary teman nulis kolom cita-cota jadi apaan ya? kalau tidak salah beberapa jawabannya cuma “jadi orang berguna” karena emang blank gak kepikiran mau jadi apa. yang penting survive aja gitu, jadi pekerja kayak orang tua saya, stay di kelas menengah yang adem ayem ini. Ya mungkin karena background finansial keluarga yang cukup aman dan melihat profesi ayah dan ibu saya menjadi seorang karyawan (pns) sedikit banyak memberikan pengaruh yang membuat saya ingin menjadi karyawan ketika besar.

Tapi menjadi karyawan itu ternyata tidak menyenangkan buat saya. Mungkin juga karena belum pernah mendapatkan tempat kerja yang cocok dari segi atasan, lingkungan, salary atau aspek lainnya yang mempengaruhi kenyamanan. Tapi kayaknya kurang lebih sama lah seperti itu rasanya jadi kacung kampret, se-baik-baiknya boss, senyaman apapun perusahaannya, bagi saya sih ya gtu weh tetap jadi kacung kampret. Udah mah selalu jadi kacung kalo salah juga di kampret-kampret. hahaha..

Saya sempat menulis essay buat apply job. Ya ketika itu yang saya pikirkan memang seperti itu. Kayaknya enak punya bisnis sendiri yang bisa menghidupi ya. Terlepas dari proses merintis nya. Eh ternyata sekarang berbeda. Saya tau apa yang saya mau. Apakah ini labi? atau memang ide nya yang berkembang?

Goals saya di essay tersebut dikatakan untuk menjadi pebisnis karena kayaknya pebisnis memiliki kemerdekaan waktu dibanding karyawan. Mungkin bila sudah di tahap tertentu ya, bisa jadi seperti itu. Menjadi direktur bisa lah kita datang siang ke kantor untuk sekedar mengecek kinerja karyawan. Tapi di proses sebelumnya kan tidak se-instant itu. Ya saya tahu, at least ada tahapan yang memang harus diraih hingga akhirnya mendapatakan ‘kemerdekaan waktu’ tsb. Sedangkan menjadi karyawan kayaknya sih ya bakal gitu gitu aja. Lets say tahapan karirnya itu dari menjadi kacung kampret sampe menjadi direktur, tp kan direktur juga kacungnya owner. jadi ya, setinggi apapun kamu kejar karir di perusahaan ya tetep jadi bawahan yang empunya bukan? sedangkan bisnis owner, sekecil apapun duit yg di dapet ya jadi leader buat perusahaannya sendiri.

Ya kedua itu pilihan sih, tidak ada yang lebih baik diantara keduanya. kembali ke personalnya lebih cocok yang mana. Ngomong2 mengenai pilihan, saya kira pilihan hanya ada dua itu. Tapi ternyata ada lagi opsi lain yang baru saya sadari dan lebih menarik lagi.

Opsi itu adalah menjadi pekarya! menjadi pekarya dengan karya yang dapat di-monetisasi tentunya. Bentuk monetisasinya bisa berbagai cara. Pekarya seperti apa? kalau sekarang sih saya ingin menjadi seorang penulis yang karya tulisnya dapat di-monetisasi yang dapat menjadi sumber pendapatan buat menafkahi keluarga kecil saya. Menurut saya pekarya adalah profesi dengan level tertinggi dibanding pebisnis atau pun cungpret. Kita samakan persepsi dulu antara pekarya, pebisnis dan karyawan disini semua mendapatkan penghasilan uang dengan besaran yang sama ya. misal 100 juta perbulan semuanya rata. nah yang membedakan dengan karyawan dan pengusaha adalah pekarya fokus membuat karya yang sesuai dengan yang dia ingin buat (layaknya pelukis) dan penggemar yang membelinya. Beda dengan pebisnis yang masih harus memikirkan insight target pembeli ya, atau cungpret yang harus mengejar target dari perusahaan si empunya. Sedangkan pekarya bebas membuat apapun yang dia mau dan tetap apresiasi dan dibeli. Bentuk pekarya hari ini tidak selalu berhubungan dengan seni seperti seni lukis atau karya tulis atau menyanyi misalnya. Bisa saja jadi montir motor atau biasa disebut builder motor custom. Deus ex Machina contohnya. dia memodifikasi motor sesuai keinginannya (ada juga yang sesuai pesanan customer)  dan menjualnya layaknya pameran dan ada pembeli. Ada juga youtuber dengan karya-karya vlog atau video lainnya yang di-monetisasi dengan mengandalkan jumlah viewers, ads atau cara lainnya. Ada juga brewers vape atau koki misalnya, saya bilang mereka itu pekarya. Saya ingin bisa memonetisasi karya saya dengan maksimal, membuat apa yang saya ingin buat dan orang lain mengapresiasinya hingga dapat menjadi mata pencaharian. kurang lebih seperti itu.

sayapun kini sudah boleh bangga menyebutkan diri saya seorang pekarya atau anak sekarang bilangnya content creator, saya cukup banyak membuahkan karya, ada beebrapa bentuknya, karya musik, podcast, videoclip musik, dan tulisan juga. walaupun belum banyak dikenal dan menghasilkan uang. Semoga dengan ikhtiar saya sekrang membuahkan hasil nantinya dan saya dapat menjadi pekarya yang diapresiasi dan dapat memonetisasinya dengan mudah kedepannya. Aamiin.

Yap, idealisme itu berkembang. Sedari kecil bingung mau jadi apa lalu secara gak langsung terpengaruh untuk jadi pekerja kayak orang tua, lalu berubah ingin mejadi pebisnis karena pernah menikmati bekerja tanpa boss itu lebih nikmat, dan sekarang berkembang lagi deh maunya jadi pekarya. Kayaknya sih ini cukup final, semoga tercapai. Aamiin.