Brand New Hope!

Baru saya iseng googling dengan keyword ‘pembagian royalti buku biografi’, karena memang saya sedang membuat sebuah buku pertama saya, sebuah buku biografi tentang teman saya seorang musisi punk di bandung. Dengan googling tersebut saya bermaksud untuk mengetahui berapakah pembagian royalti antara penulis dan subjek sebuah buku biografi. Ternyata malah nemu dua tulisan ini :

Dikirim oleh Tere Liye pada Selasa, 05 September 2017

Royalti dan Keadilan

Jujur sebenarnya saya kurang pede awalnya dengan kemampuan menulis saya yang masih belajar ini untuk menulis buku, apalagi hingga di terbitkan. Tapi setelah menjadikan menulis sebagai kebiasaan ternyata lumayan meningkatkan kepercayaan diri saya untuk menulis. Dengan kondisi saya sekarang yang sedang tidak bekerja, yang hanya bekerja paruh waktu di weekend saja sebagai supir mobil nikahan, tentu saya banyak waktu luang untuk melatih kemampuan menulis dan tentunya memperbanyak membaca, Kadang saya merasa sedang menjadi Connor Mcgregor yang sedang merintis karir nya di MMA.

Saya bukan mau membahas tentang Tere Liye, Dewi Lestari, atau apalagi Connor Mcgregor. Yang menjadi keresahan saya setelah membaca dua tulisan diatas adalah ternyata menjadi penulis best seller itu rugi karena banyak potongan pajak, apalagi penulis yang gk laku? apakah pemotongan pajak royalti itu dilakukan langsung ketika kita akan mengambil hasil royalti dari penerbit, atau bagaimanapun teknis nya saya tidak peduli. Yang saya pedulikan adalah, bagaimana cara mencari cuan dari menulis ini sebenarnya.

Ketertarikan saya kepada menulis semakin besar tiap harinya, selain karena memang sedang mengikuti kelas menulis juga karena saya merasa memiliki mimpi baru. Mimpi baru yang sangat menggairahkan karena mungkin saja saya bisa mendapatkan profesi yang sesuai dengan passion saya. Saya bukan orang yang punya jiwa kompetitif, bukan tipikal yang mau mengadukan karya-nya untuk di nilai orang. Pernah satu kali melombakan karya berupa video dan tidak menang, tapi itu pun kerja tim dan bisa dibilang malah bukan karya pribadi. Saya kuliah desain grafis, banyak teman mengikuti lomba desain, atau sayembara logo dan mencoba mengajak saya tapi saya enggan bergabung. Tapi dalam menulis, saya berani mencobanya. Saya mengikuti lomba menulis blog, untuk pertama kalinya saya mengadukan karya. Saya tak peduli hasilnya nanti, syukur bisa menang, lumayan uangnya lagi bokek. Kalah pun tak apa, yang penting sudah mencoba dan saya bersemangat atas itu. Saya juga cukup produktif dalam membuat tulisan akhir-akhir ini, dari blog bahkan diary, sekedar untuk mengasah dan membiasakan menulis juga sih.

Di salah satu video motivasi Jack Ma, beliau bilang begini kurang lebih; “di usia 25-30 cocok lah kalian bekerja di perusahaan, di perusahaan besar kita belajar memproses, menjadi bagian kecil dari seluruh sistemnya. Di perusahaan kecil kita bisa belajar tentang semangat dan mimpi. Disaat bekerja itulah saatnya kita belajar dari pemimpin” (tp sialnya bos saya selama ini asshole kabeh) Karena nanti di usia 30-40 itu saatnya kamu kerja untuk dirimu sendiri. Video itu cukup memotivasi saya sih. Mungkin ini jawaban mengapa saya sekarang susah mencari pekerjaan di usia 30 ini karena memang bukan waktunya lagi saya bekerja pada orang lain, ini waktunya saya bekerja untuk diri saya sendiri. Dan sejauh ini saya belum sempat memaksimalkan potensi yang ada. mungkin saja ini saat yang tepat memaksimalkan potensi tersebut.

Kembali ke tulisan Tere Liye dan Dewi Lestari diatas. Kenapa saya harus ikut merasakan keresahannya? Menulis saja masih amatir bahkan belum menghasilkan profit. Kenapa mesti resah? Ya tentu saya resah, penulis level mereka saja yang sudah jelas mendapatkan profit dari karya-karya yang pasti terjual ribuan exemplar merasa rugi atas banyaknya potongan pajak apalagi nanti, ketika karya yang saya buat ternyata tidak banyak terjual, dipotong juga pajak. Kan ngehe!

Apalagi tanpa NPWP pajak penulis bisa lebih besar lagi potongannya. Saya sejak lulus kuliah dan sudah bisa mendapatkan penghasilan tidak pernah membuat NPWP dan membayar pajak. Karena menurut saya, tak usahlah keringat kami-kami buruh rendah ini dipotong bayar pajak. Cukup lah ambil pajak dari permen yang saya beli, stnk motor atau pajak lainnya. Saya malas hasil keringat saya dimakan sama mahluk-mahluk macam Gayus nantinya.


Jadi intinya saya akan tetap semangat belajar menulis dan menulis untuk menggali potensi dan sambil juga mencari celah untuk menjadikan menulis sebagai ladang cuan.

Fuck the Tax, Fuck Tha Government!