#1 Parasit di Sebuah Record Indie

Saya punya beberapa ide judul buat nanti dijadikan buku. salah satunya adalah “101 kisah korupsi”. Antologi kisah korupsi di negeri ini. Tapi idenya berkembang, kayaknya 101 kisah cuan lebih asik deh. Apa itu cuan? cuan konotasinya sangat terdengar negatif ya? padahal cuanki ; cari uang jalan kaki bukan hal yang negatif. Cuan berarti cari uang atau yang biasa kita sebut cari untung yang ternyata adalah bahasa hok-kian. Kenapa berubah menjadi cerita cuan? karena kayaknya lebih banyak dari kita yang cukup penasaran dengan gimana seseorang bisa mendapatkan sebuah cuan dan seberapa besar kah cuan yang didapat dari usaha atau bisnis model yang kita tidak tahu dibanding dengan cerita cerita tentang korupsi / kecurangan saja.

Ide ini tadinya untuk buku ketiga saya nanti yang mana akan terdengar gila,karena buku kesatu saja baru dua bab dan belum tentu terbit udah mau bikin buku ketiga aja? Nah berhubung nulis buku itu prosesnya cukup panjang dan biar gak jenuh saya coba bikin project sampingan, toh yang ini kan ceritanya per bab, jadi lumayan refresh dari kepenatan spektrum project nulis buku.

Kenapa saya publish di blog? Pertama, blog nya juga belum banyak viewers nya jadi ya biarin aja. Kedua toh belum tentu juga tulisan ini jadi buku. Ketiga, siapa tau di tengah-tengah penulisan kisah kisah korupsi ini keburu dilirik oleh penerbit, jadi kan iseng iseng berhadiah.

Saya bakal coba ceritain kisah kisah cuan yang baik dan benar maupun cuan yang nyeleneh dan malah menyimpang dari jalurnya dilihat dari berbagai macam profesi, aspek dan berbagai sudut pandang. Yang bakal menjawab pertanyaan pertanyaan dimana sebenarnya orang mendapat cuan dari usaha yang bisnis modelnya tidak kita mengerti. Juga membuat kita terpana, betapa hebatnya orang orang disekitar kita dapat memanipulasi, memberi suap, ancaman atau hal curang lainnya yang berbau dengan hal hal korup.

Saya gak tau apakah kedepannya postingan #101cuanstories ini bakal continue di update tiap bulan, atau minggu atau bahkan tiap hari (kayaknya sih jelas gak mungkin tiap hari). Pokoknya akan saya mulai cicil dengan publish di blog saya ini. Sekiranya data tiap ceritanya nya sudah lengkap dan mampu saya ramu dengan cepat, pasti saya publish secepatnya.

Untuk kisah pertama :


#1 Korupsi di Label Rekaman Indie

Narasumbernya adalah sahabat yang sudah saya anggap seperti kakak sendiri, sebut saja namanya Atep. Beliau mempunyai sebuah distro merchandise musik bawah tanah lokal. kebanyakan produk yang dijual sih kaos, sweater, tas, cd musik dan aksesoris lainnya keluaran dari band dan label label lokal.

Industri ini mulai berkembang cukup pesat dan menjadi salah satu komoditas utama bagi para pemain musik di bandung di tahun 2008-an setahu saya. Kebetulan saya juga salah satu pelaku industri ini. Saking pesatnya ketika itu pernah ada satu brand stiker memproduksi hampir semua stiker band lokal bandung dengan sistem royalti. Satu desain stiker dihargai seratus ribu rupiah, dikalikan sepuluh desain sudah satu juta. Sampai semudah itu mencari pundi-pundi dengan menjual nama band ketika itu.

Cukup banyak cara mencari uang dari industri merchandise band lokal ini. Selain dari sistem menjual royalti putus kepada brand/label yang mau memproduksi merchandise kita secara resmi, atau juga memproduksi secara mandiri dan menitip jual di distro distro musik yang ada. Spesialisasi sebuah label juga banyak ketika itu, misal label/brand A khusus memproduksi Topi Band, label/brand B yang khusus memproduksi tas, atau juga merilis semua produk merchandise pada umumnya.

Yang saya kurang mengerti adalah sistem produksi, royalti dan distribusi pada sebuah album band bawah tanah lokal. sebenarnya band saya Gladiator pernah mengeluarkan sebuah album dibawah naungan label milik Atep. Tapi dulu sih saya cuma minta diproduksi saja, biar atep yang menjual dan profitnya pun untuk Atep saja, toh kayaknya album saya juga tidak begitu laku di pasaran.

Salah satu teman saya, band nya pernah di kontrak oleh satu label rekaman lokal. Katanya fasilitasnya adalah biaya rekaman dibayarkan, termasuk mixing dan mastering tapi tetap dengan batasan jumlah sewa studio yang diberikan. Untuk foto dan artwork di cover album juga bisa memilih siapa artist yang mau disewa nanti dibayarkan oleh label tersebut. Dan terakhir baru pembagian royalti dari penjualan cd atau kasetnya. Pokoknya untuk kami band lokal bawah tanah mendapatkan kontrak dengan label rekaman seperti itu udah surga banget sih. Kualitas rekaman terjamin bagus, produksi album dijamin jadi, distribusi juga pasti cukup luas jangkauannya.

Tapi jarang label rekaman yang mampu memberikan kontrak seperti itu. Sekalipun ada, ya pasti band dan musisi pilihan sih pasti. Oiya label rekaman yang saya sebut diatas itu bukan major label ya, bukan indie juga tentunya, karena tidak dilakukan secara independen sih menurut saya. Sistemnya mungkin malah sama seperti mayor label dengan budget dan skala produksi – distribusi yang lebih kecil. Sebut saja label rekaman minor mungkin.

Distribusi album dari label rekaman ini dititipkan di distro distro musik seperti milik atep. Dari situlah Atep dan saya tau bobroknya korupsi di label rekaman minor tersebut. Sebut saja label rekaman tersebut dengan nama, X-records (nama disamarkan). X-records kala itu sedang menjadi label rekaman yang cukup hot di musik underground, karena di tahun yang sama langsung merilis 4-5 band yang sudah cukup punya nama besar di komunitas. Modalnya gak main main nih, serius bikin perusahaan rekaman pikir Saya & Atep.

Kebobrokannya kami tahu dari salah satu pelakunya yakni; sales X-Records sendiri, yang ternyata dia menjual barang bajakan (tidak resmi) dengan kualitas 100% sama dengan yang X-Records Produksi tapi tanpa royalti. Barangnya apa? Ya CD & Kaset album dan rilisan dari X-Records itu sendiri. Dari mana dia dapat? Nah ini yang menarik. Ternyata dia mendapatkan CD & Kaset Album kualitas ori tapi tidak resmi tersebut dari produsen duplikasi CD yang sudah bekerja sama dengan percetakan yang ditunjuk X-Records untuk memperbanyak CD album tersebut.

Entah siapa yang mulai duluan, yang jelas salah satu dari duplikator CD atau percetakan yang memproduksi lebih dari kontrak yang ada lalu menggabungkannya menjadi sebuah CD tidak resmi yang berkualitas ori. Dan yang anehnya adalah mereka tak canggung-canggung menawarkan produk tidak resmi ini kepada staff X-Records langsung, dengan iming iming sharing profit yang besar dari penjualan tentunya.

Jadi ketika satu CD album rilisan X-Records yang terjual, sales tersebut me re-stock kembali barangnya dengan barang tidak resmi dahulu hingga habis barulah dia jual produk resmi milik X-Records tersebut. Jadi apabila sudah ada 500 copy album terjual di pasaran, X-Records belum mendapatkan profit sedikitpun karena sales mereka menjual barang yang tidak resmi terlebih dahulu. Mungkin pihak label sudah membuat analisis dan memperhitungkan berapa daya serap konsumen terhadap album yang mereka rilis, tapi  produk bajakan berkualitas ori ini sungguh menggerus keuntungan mereka.

Pantas saja X-Records ini tidak bertahan lama, mungkin hanyan 2 tahun semenjak kemunculan pertamanya saja saya tidak tahu pasti kalau itu. Sangat disayangkan, jarang ada label musik yang sepertinya bermodal besar dan mau berinvestasi di jalur musik underground bahkan hingga sekarang. Sekian #101cuanstories yang pertama. Semoga menghibur atau syukur syukur menginspirasi. Semoga #101cuanstories ini berlanjut, so far sih draft nya udah banyak :D.